Rabu, 08 Februari 2012

Coklat Berbalut Tausiyah


Assalmu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh

Mungkin engkau mulai berfikir “Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh” Betapa jamaknya ‘dosa kecil’ itu dalam hatimu. Kemana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat “TV Thaghut” menyiarkan segala “kesombongan jahiliyah dan maksiat”?

Apa beda seorang remaja yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan dalam aktifitas da’wahnya?

Sebuah sindiran yang cukup ‘menohok’, yang disampaikan ustadz Rahmat Abdullah tersebut disampaikan dalam tulisannya yang berjudul “Kematian Hati”. Memang sekarang ini, fenomena ‘terlalu cairnya’ hubungan antar insan  yang menisbatkan dirinya sebagai aktivis dakwah cukup marak. Mulai dari sekedar memberi tausiyah,saling mengingatkan,hingga bercanda yang sudah kelewat batas, bahkan hingga ke komunikasi yang tidak seharusnya.Penulis tidak memungkiri bahwasannya komunikasi antar sesama manusia memanglah penting. Tak terkecuali bagi aktivis dakwah. Namun penulis sangat menyayangkan jika komunikasi yang kelewat batas seperti itu dilakukan dalam bingkai aktivitas dakwah, yang seharusnya murni dan bebas dari perbuatan semacam itu. Penulis tidak melarang jika seseorang ingin bercanda dengan lawan jenis yang bukan mahram nya. Tapi jangan kotori aktivitas dakwah dengan kegitan seperti itu. Ibarat kata, jika anda termasuk orang yang menganggap bahwa merokok di depan umum adalah hak setiap orang, maka setidaknya janganlah merokok di tempat yang terdapat tulisan “Dilarang Merokok”. Masih banyak tempat lain yang memperbolehkan anda untuk merokok.

Memang mengingatkan sesama muslim adalah suatu keharusan.watawaa shoubil haqqi watawaa shoubisshobr. Tapi apakah harus lintas gender jika kita ingin menasehati sesama muslim ? apakah sudah tidak ada lagi saudara kita yang se gender yang butuh di nasehati ? Memang terkadang seorang qiyadah perlu untuk mengayomi jundiy nya. Tapi jangan jadikan itu sebagai pembenaran untuk seorang qiyadah – yang biasanya laki-laki – untuk bertausiyah ke staff nya yang perempuan. Karena itulah dalam kredo organisasi islam, diperlukan yang namanya koordinator akhwat. Biar beliaulah yang menjalankan fungsi pengayoman kepada staff-staffnya yang perempuan. Kalau ternyata koordinatornya akhwat nya pun galau, dan selalu butuh di beri tausiyah, lebih baik ganti saja koordinator akhwatnya. Karena itu artinya, dia belum bisa menjalankan fungsinya sebagai pengayom. Jangan selalu berdalih “semuanya dikembalikan ke hati masing-masing”. Ingat, biar bagaimanapun juga komunikasi itu melibatkan dua pihak, pengirim dan penerima. Putihnya pengirim, belum tentu putihnya penerima. Bisa jadi ia menjadi merah muda. Lalu bukan berarti itu salah si penerima juga. Bukankah dalam maqashid syariah dikenal prinsip "bahwa mencegah kerusakan itu lebih diutamakan daripada menarik kemanfaatan".