Assalmu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Mungkin engkau mulai berfikir “Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh” Betapa jamaknya ‘dosa kecil’ itu dalam hatimu. Kemana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat “TV Thaghut” menyiarkan segala “kesombongan jahiliyah dan maksiat”?
Apa beda seorang remaja yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan dalam aktifitas da’wahnya?
Sebuah sindiran yang cukup ‘menohok’, yang disampaikan ustadz
Rahmat Abdullah tersebut disampaikan dalam tulisannya yang berjudul “Kematian
Hati”. Memang sekarang ini, fenomena ‘terlalu cairnya’ hubungan antar
insan yang menisbatkan dirinya sebagai
aktivis dakwah cukup marak. Mulai dari sekedar memberi tausiyah,saling
mengingatkan,hingga bercanda yang sudah kelewat batas, bahkan hingga ke
komunikasi yang tidak seharusnya.Penulis tidak memungkiri bahwasannya
komunikasi antar sesama manusia memanglah penting. Tak terkecuali bagi aktivis
dakwah. Namun penulis sangat menyayangkan jika komunikasi yang kelewat batas
seperti itu dilakukan dalam bingkai aktivitas dakwah, yang seharusnya murni dan
bebas dari perbuatan semacam itu. Penulis tidak melarang jika seseorang ingin
bercanda dengan lawan jenis yang bukan mahram nya. Tapi jangan kotori aktivitas
dakwah dengan kegitan seperti itu. Ibarat kata, jika anda termasuk orang yang
menganggap bahwa merokok di depan umum adalah hak setiap orang, maka setidaknya
janganlah merokok di tempat yang terdapat tulisan “Dilarang Merokok”. Masih
banyak tempat lain yang memperbolehkan anda untuk merokok.
Memang mengingatkan sesama muslim adalah suatu keharusan.watawaa
shoubil haqqi watawaa shoubisshobr. Tapi apakah harus lintas gender jika
kita ingin menasehati sesama muslim ? apakah sudah tidak ada lagi saudara kita
yang se gender yang butuh di nasehati ? Memang terkadang seorang qiyadah perlu
untuk mengayomi jundiy nya. Tapi jangan jadikan itu sebagai pembenaran untuk
seorang qiyadah – yang biasanya laki-laki – untuk bertausiyah ke staff nya yang
perempuan. Karena itulah dalam kredo organisasi islam, diperlukan yang namanya
koordinator akhwat. Biar beliaulah yang menjalankan fungsi pengayoman kepada
staff-staffnya yang perempuan. Kalau ternyata koordinatornya akhwat nya pun
galau, dan selalu butuh di beri tausiyah, lebih baik ganti saja koordinator akhwatnya.
Karena itu artinya, dia belum bisa menjalankan fungsinya sebagai pengayom.
Jangan selalu berdalih “semuanya dikembalikan ke hati masing-masing”. Ingat,
biar bagaimanapun juga komunikasi itu melibatkan dua pihak, pengirim dan
penerima. Putihnya pengirim, belum tentu putihnya penerima. Bisa jadi ia
menjadi merah muda. Lalu bukan berarti itu salah si penerima juga. Bukankah dalam
maqashid syariah dikenal prinsip "bahwa mencegah kerusakan itu lebih
diutamakan daripada menarik kemanfaatan".