Senin, 23 Juli 2012

Dilema PKS; Jokowi atau Foke

Beberapa bulan lalu ibukota Republik Indonesia baru saja selesai menyelenggarakan hajatan besar. Berdekatan dengan hari jadi Jakarta, masyarakat di Jakarta baru saja melaksanan pemilihan langsung kepala daerah mereka, sebagai konsekuensi dari dianutnya sistem demokrasi langsung di Indonesia. Ada 6 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang bersaing di event ini. Dan akhirnya event ini ditutup dengan rekapitulasi suara sebagai berikut. Pasangan Jokowi-Ahok yang diusung oleh PDI P dan Gerindra memperoleh suara terbanyak yaitu sekitar 42,60 % dari 4 juta warga DKI yang menggunakan hak pilih, atau sekitar 1,8 juta suara, disusul oleh pasangan dari incumbent Foke-Nara dengan 34 %, lalu HNW-Didik yang diusung PKS,PAN dan PKB  dengan 11,8 %, kemudian pasangan independen Faisal-Biem di urutan keempat dengan 4,89 %, disusul dengan pasangan yang diusung Partai Golkar Alex Noerdin-Nono dengan 4,5 % dan yang terakhir adalah pasangan independen Hendarji-Riza dengan 1,8 % suara. Karena belum ada pasangan yang memperoleh suara diatas 50 %, maka sesuai peraturan akan diadakan pemilukada putaran kedua yang diikuti oleh dua pasangan pemeroleh suara teratas yaitu Jokowi-Ahok dan Foke-Nara. Kemungkinan putaran kedua akan berlangsung di bulan september nanti.

Yang cukup menarik dari sisa pilkada DKI putaran pertama adalah sebuah pertanyaan, kemana suara PKS akan berlabuh ? Modal 11,8 % suara yang diperoleh di putaran pertama bisa menjadi kartu as untuk menentukan siapa yang akan memenangkan pilkada DKI nanti. Kenapa demikian ? Karena secara matematis  jika semua suara PKS ini masuk ke salah satu pasangan tersebut, maka nilai yang akan diperoleh cukup untuk memenangkan pilkada nanti. Yang kedua, kader PKS terkenal dengan loyalitasnya. Apapun yang diperintahkan oleh petinggi partai, maka seluruh lapisan kader akan melaksanakannya. Dan dapat dibayangkan jika semua suara yang diperoleh masuk secara keseluruhan ke satu pasangan, sudah pasti itu menjadi modal yang cukup untuk memenangkan kompetisi ini.  Belum ada pernyataan resmi dari petinggi PKS tentang kecederungan kearah mana PKS akan berkoalisi. Namun mulai banyak analisis dan opini yang bermuculan tentang kemungkinan-kemungkinan arah suara PKS dan penilaian-penilaiannya.

Dari berbagai opini yang ada di masyakarat, bisa dikatakan posisi PKS serba salah. Jika PKS memilih untuk memberikan suara ke Foke-Nara, maka PKS akan dicap pro status quo. Memang sebagai incumbent, tidak bisa dikatakan Foke memimpin Jakarta dengan track-record yang baik. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Atau bisa juga dikatakan Jakarta mengalami stagnansi, sedangakan sudah menjadi suatu kepastian bahwasannya manusia pasti menginginkan adanya perubahan kearah yang lebih baik. Namun tidak ada juga yang merupakan keburukan besar. Terlepas dari benar tidaknya isu korupsi yang melandanya, yang jelas kita tidak bisa menilai sebelum itu terbuktikan. Karena status hukum seseorang itu harus diputuskan berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, bukan berdasarkan opini masyarakat. Dan jika PKS gagal mencitrakan pilihannya dan membuktikan bahwa pilihannya bukan suatu kesalahan, maka hal ini akan sangat berpengaruh di Pemilu 2014.

Kalaupun PKS akan memberikan suaranya ke Jokowi-Ahok, tentunya ini akan mendapatkan tentangan dari orang-orang kanan. Beberapa pernyataan kontroversial yang dikeluarkan Ahok yang mengindikasikan adanya unsur sekularisme dalam berideologi, tentunya sangat bertolak belakang dengan citra PKS sebagai partai yang lekat dengan ciri ke islamannya. Pastinya ini akan mendapat cibiran dari orang-orang konservatif. Selain itu PKS sadar, langkah memenangkan Jokowi-Ahok itu sama saja memuluskan jalan Prabowo ke pilpres 2014.

Aku Rindu Ramadhan

Aku rindu ramadhan
tapi bukan rindu pada kemeriahan suasana dalam menyambutnya
bukan pula rindu pada keceriaan saat berkumpul bersama keluarga
bukan pula rindu pada maraknya hiburan di tv saat menjelang buka dan sahur
bukan pula rindu pada takjil dan manisnya kurma
bukan pula rindu pada kesenangan saat mendengan petasan
tapi aku rindu
rindu melihat masjid yang penuh saat isya dan subuh
rindu mendengar orang bertadarus di masjid hingga larut malam
rindu melihat orang yang menunggu bis samabil memegang al quran,bukan handphone atau blackbery
rindu melihat orang sangat berhati-hati menjaga perkataanya
rindu melihat orang tidak berpikir panjang dalam berderma
Ya Allah,pertemukanlah aku dengan ramadhan tahun ini
atau jikapun tidak, maka jadikanlah sebelas bulan kedepan seperti bulan ramadhan
karena ketaatan dalam menjalankan perintah-Mu dan menjauhi larangan-Mu bukan hanya untuk satu bulan ini saja

Sabtu, 07 Juli 2012

Kapan Kita Bisa Berlebaran Bersama Lagi ?


*tulisan ini dimuat di fimadani

Ramdhan 1433 Hijriah sudah dekat, sangat dekat malah. Bahkan saking dekatnya, aromanya pun sudah tercium mulai dari sekarang. Aroma kebahagian dan sukacita dalam menyambut bulan baik itu diekspresikan oleh masyarakat dengan berbagai cara. Mulai dari penyebaran pesan di media publikasi umum, ceramah-ceramah, bahkan dengan event-event keagamaan khusus yang diselenggarakan dalam rangka menyambut Ramadhan. Bagi masyarakat Indonesia, Ramadhan dan Iedul Fitri memiliki ke khasan tersendiri sehingga moment ini sangatlah dinanti. Ritual Mudik atau pulang ke kampung halaman dan berkumpul dengan sanak saudara merupakan hal khusus lain yang dinanti oleh masyarakat kita. Memang pulang ke kampung halaman atau hanya sekedara berkumpul dengan keluarga bisa dilakukan kapan saja, tidak harus menunggu lebaran atau Ramadhan. Namun berkumpul dengan keluarga pada momentum ini memberikan suasana berbeda daripada ketika dilakukan pada hari biasa.

Namun dalam Ramadhan kali ini, pemerintah kita menyisakan satu pekerjaan rumah dari perayaan lebaran tahun lalu yang sayangnya sampai sekarang belum terselesaikan. Masih terbekas dalam ingatan kita tragedi “opor basi” atau yang lebih umumnya adalah perbedaan penetapan kapan Iedul Fitri 1432 Hijriah kemarin, sempat menimbulkan polemik tersendiri di masyarakat kita. Paska lebaran tahun lalu sempat beredar wacana penyatuan tanggal Hijriah. Namun sepertinya hal itu gagal terwujud. Pemerintah yang seharusnya memiliki pengaruh yang kuat di hadapan warga negaranya, mulai kehilangan kewibawaannya. Sehingga jangankan untuk mewujudkan momentum penyatuan kalender Hijriah, hasil sidang itsbat yang semestinya bisa dijadikan patokan dalam menentukan kapan mulai puasa, kapan lebaran dan beberapa event lain dalam kalender islam pun sudah kehilangan keskaralannya untuk dipatuhi dan dilaksanakan bersama oleh semua masyarakat.

Tujuan utama dari adanya regulasi yang dibuat pemerintah sebenarnya bukanlah untuk memaksakan suatu peraturan kepada rakyatnya. Melainkan untuk mencegah terjadinya konflik sosial di lapisan masyarakat bawah. Memang konflik sosial yang muncul dari perbedaan penetapan lebaran tahun lalu tidak sampai berujung pada pertikaian fisik antar kelompok, kerusuhan atau tindakan anarkis lainnya. Sudah cukup jenuh masyarakat kita disuguhi tindakan-tindakan kekerasan seperti itu. Konflik yang timbul memang masih dalam lingkup pertikaian verbal yang dapat kita lihat dengan adanya perang opini yang sempat marak dalam jejaring sosial dan media elektronik. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa hal ini menyebabkan keresahan di masyarakat. Tidak adakah satu momentum khusus dimana kita bisa merayakan hari raya bersama dengan penuh sukacita tanpa harus dibumbui pertikaian?