*tulisan ini dimuat di fimadani
Ramdhan
1433 Hijriah sudah dekat, sangat dekat malah. Bahkan saking dekatnya, aromanya
pun sudah tercium mulai dari sekarang. Aroma kebahagian dan sukacita dalam
menyambut bulan baik itu diekspresikan oleh masyarakat dengan berbagai cara.
Mulai dari penyebaran pesan di media publikasi umum, ceramah-ceramah, bahkan
dengan event-event keagamaan khusus yang diselenggarakan dalam rangka menyambut
Ramadhan. Bagi masyarakat Indonesia, Ramadhan dan Iedul Fitri memiliki ke khasan
tersendiri sehingga moment ini sangatlah dinanti. Ritual Mudik atau pulang ke
kampung halaman dan berkumpul dengan sanak saudara merupakan hal khusus lain yang
dinanti oleh masyarakat kita. Memang pulang ke kampung halaman atau hanya
sekedara berkumpul dengan keluarga bisa dilakukan kapan saja, tidak harus
menunggu lebaran atau Ramadhan. Namun berkumpul dengan keluarga pada momentum
ini memberikan suasana berbeda daripada ketika dilakukan pada hari biasa.
Namun
dalam Ramadhan kali ini, pemerintah kita menyisakan satu pekerjaan rumah dari
perayaan lebaran tahun lalu yang sayangnya sampai sekarang belum terselesaikan.
Masih terbekas dalam ingatan kita tragedi “opor basi” atau yang lebih umumnya
adalah perbedaan penetapan kapan Iedul Fitri 1432 Hijriah kemarin, sempat
menimbulkan polemik tersendiri di masyarakat kita. Paska lebaran tahun lalu
sempat beredar wacana penyatuan tanggal Hijriah. Namun sepertinya hal itu gagal
terwujud. Pemerintah yang seharusnya memiliki pengaruh yang kuat di hadapan
warga negaranya, mulai kehilangan kewibawaannya. Sehingga jangankan untuk
mewujudkan momentum penyatuan kalender Hijriah, hasil sidang itsbat yang
semestinya bisa dijadikan patokan dalam menentukan kapan mulai puasa, kapan
lebaran dan beberapa event lain dalam kalender islam pun sudah kehilangan keskaralannya
untuk dipatuhi dan dilaksanakan bersama oleh semua masyarakat.
Tujuan
utama dari adanya regulasi yang dibuat pemerintah sebenarnya bukanlah untuk
memaksakan suatu peraturan kepada rakyatnya. Melainkan untuk mencegah
terjadinya konflik sosial di lapisan masyarakat bawah. Memang konflik sosial
yang muncul dari perbedaan penetapan lebaran tahun lalu tidak sampai berujung
pada pertikaian fisik antar kelompok, kerusuhan atau tindakan anarkis lainnya.
Sudah cukup jenuh masyarakat kita disuguhi tindakan-tindakan kekerasan seperti
itu. Konflik yang timbul memang masih dalam lingkup pertikaian verbal yang
dapat kita lihat dengan adanya perang opini yang sempat marak dalam jejaring sosial
dan media elektronik. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa hal ini menyebabkan
keresahan di masyarakat. Tidak adakah satu momentum khusus dimana kita bisa
merayakan hari raya bersama dengan penuh sukacita tanpa harus dibumbui
pertikaian?
Berkompromi
dalam hal khilafiyah, mungkinkah ?
Dalam
tulisan ini, penulis tidak akan membahas tentang perbandingan konsep wujudul
hilal maupun rukyatul hilal, ataupun konsep yang lain. Karena itu
adalah domain kerja para ulama dan fuqaha, mereka yang lebih berhak
membahasnya. Tapi yang ingin coba penulsi angkat adalah, sebegitu sulitkah menyingkirkan
ego dalam menghadapi perbedaan pandangan demi hal yang lebih besar yaitu
kemaslahatan masyarakat ? Dalam fatwa kontemporer jilid II, Yussuf Qaradahawi
pernah berkata “Jika memang tidak memungkinkan dalam mencapai kesepakatan pada
tingkat global, maka setidaknya kita wajib berobsesi untuk bersatu dalam satu
kawasan. Tidak boleh terjadi di satu negara atau satu kota kaum Muslim
terpecah-pecah; berbeda pendapat dalam masalah penentuan awal Ramadhan atau
Hari Raya. Perbedaan dalam satu negara semacam itu, tidak dapat diterima. Kaum
Muslim di negara itu harus mengikuti keputusan pemerintahnya, meskipun berbeda
dengan negara lain. Sebab, itu termasuk ketaatan terhadap yang ma’ruf”
Islam
mengakui adanya perbedaan pendapat, selama memang pendapat tersebut tetap
berlandaskan dari Al Qur’an dan Sunnah. Tapi sejatinya islam menghendaki adanya
persatuan. Kita bisa lihat dalam beberapa ayat di Al Qur’an seperti di surat
Ali Imran ayat 103 dan 105, Al Anfal ayat 46, disitu Allah menghendaki agar
umatnya jangan berpecah belah dan berselisih karena itu hanya akan
melemahkannya.
Para shalafus shalih pun sudah pernah mencontohkan bahwa berkompromi dengan hal yang khilafiyah bukanlah suatu hal sulit. Al khuruj minal khilaf mustahabbun, keluar dari permaslahan khilafiyah itu lebih disukai. Begitu salah satu kaidah ushul fiqih yang pernah pernah penulis baca. Penulis akan berikan sedikit contoh perilaku para ulama terdahulu dalam berkompromi dalam permasalahan yang khilafiyah dalam perkara yang lebih fundamental yaitu shalat.
Imam
Ahmad kita kenal membid'ah kan qunut subuh. Namun beliau berpesan: "“Jika
aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya
itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat,
melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.”
Begitu
juga apa yang dilakukan Ibnu Mas'ud ketika shalat dibelakang Utsman bin Affan
(menjadi makmum dari Utsman) di Mina. Pada waktu itu Utsman shalat secara
sempurna 4 rakaat. Tidak seperti apa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah, Abu
Bakar, dan Umar bin Khatab, yang meng-qasar nya menjadi 2 rakaat. Seketika peristiwa
ini menimbulkan kegaduhan dikalangan jamaah shalat yang lain. Ketika shalat
selesai, mereka, jamaah shalat yang lain. bertanya kepada Ibnu Mas'ud. Ibnu
Mas'ud tidak mengingkari apa yang dilakukan oleh Utsman. Bahkan beliau berkata
"perselisihan itu buruk".
Dari contoh-contoh diatas kita dapat melihat bahwa berkompromi dalam hal khilafiyah bukanlah hal yang baru dan itu sudah di contohkan oleh para ulama sebelum kita. Banyak dari kita yang sudah cukup jauh mempelajari dan menyerap ilmu dari para ulama terdahulu melaui kitab-kitab nya, tapi sedikit sekali dari kita yang bisa mempelajari akhlaq para ulama.
Dan dalam permasalahan ketaatan pada pemimpin, Rasulullah shalallahu wa’alaihi wassalam bersabda dalam hadits yang diriwatkan Bukhari-Muslim dari Ibnu Umar: “Orang muslim diharuskan patuh dan taat, baik tentang hal yang dia senangi ataupun tidak, selama dia tidak disuruh melakukan kemaksiatan. Bila disuruh melakukan kemaksiatan, maka dia tidak perlu patuh dan taat.”
Dalam buku Fiqih Negara, Yussuf Qaradhawi mengutip pernyataan salah satu pakar ushul fiqih Abu Hamid al-Ghazali dari kitabnya al-Mustashfa bahwa Seorang Nabi,sultan(penguasa) bapak, suami, apabila menyuruh atau mewajibkan sesuatu, maka wajibnya hal itu bukanlah karena mereka, tapi memang pada dasarnya sudah diwajibkan oleh Allah; dan mematuhi perintah itu bukan berarti patuh pada mereka, tapi patuh kepada Allah.
Sudah cukup rakyat kita tersakiti hatinya oleh perilaku beberapa elit penguasa yang selalu bertikai. Sudah cukup hati rakyat kita terpedihkan oleh nestapa, bencan alam dan pertengkaran antar kelompok yang kerap melanda negeri ini. Kenapa kita tidak bisa sedikit mengendurkan ego kelompok dan diri kita, demi suatu hadiah yang paling tidak bisa sedikit menghibur masyarakat Indonesia yaitu merayakan Ramadhan dan Iedul Fitri bersama tanpa harus ada pertikaian ? Jangan selesaikan problematika ini hanya dengan mengembalikkan lagi masalah ini ke masyarakat dan meminta mereka bersikap dewasa dalam menghadapi perbedaan. Para pembuat kebijakan pun hendaknya bersikap dewasa juga dalam mengambil kebijakan sehingga tidak menimbulkan kebingungan dan keresahan di masyarakat. Semoga tahun ini kita bisa berlebaran bersama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar