Rabu, 11 Mei 2011

Memenangkan Wacana Publik

 
            Setiap Individu dalam masyarakat demokrasi sama dengan individu yang lain. Semua sama-sama bebas dalam berpikir, berekspresi, dalam bertindak dan memilih jalan hidup. Tidak boleh ada rasa takut, tidak boleh ada tekanan, terutama dari pihak berkuasa. Kebebasan hanya dibatasi dengan kebebasan yang sama.
            Maka semua orang menikmati demokrasi. Para kapitalis menikmati demokrasi karena inilah payung politik yang memberi akses ke semua sudut pasar potensial. Para buruh juga menikmati demokrasi karena inilah payung politik yang memberi perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan bekerja. Kelompok minoritas dalam semua bentuknya, termasuk minoritas nilai (atau secara kasar disebut orang-orang yang menyimpang) juga menikmati demokrasi karena hak hidup mereka terlindungi disini.
            Tapi,kenikmatan ini ada harganya. Terutama bagi pembela kebenaran dan keadilan. Kita memang bebas berjuang disini,tanpa ada tekanan yang membatasi, tapi disisi lain para pelaku kemungkaran juga bebas melakukan  kemungkaran. Yang berlaku disini bukan hukum benar salah, tapi hukum legalitas. Sesuatu itu harus legal, walaupun salah. Dan sesuatu yang benar tapi tidak legal bisa dianggap salah. Begitulah aturan main demokrasi.


            Yang kemudian harus kita lakukan adalah mengintegrasikan kebenaran dan legalitas. Bagaimana membuat seuatu yang salah dalam pandangan agama dan norma menjadi tidak legal dalam pandangan hukum positif. Dan ini memerlukan suatu rencana yang terstruktur dan penetrasi terhadap pihak berkuasa sebagai legitimasi dan jaminan pelaksanaan.
            Maka, penetrasi kekuasaan dalam Negara demokrasi harus dilakukan sebagai berikut. Pertama, menangkanlah wacana publik agar opini publik berpihak kepada kita. Inilah kemenangan yang pertama yang dapat mengawali kemenangan selanjutnya. Kedua, formulasikan wacana tersebut kedalam draf hukum untuk dimenangkan dalam wacana legislasi melalui lembaga legislative. Kemenangan legislasi ini menjadi legitimasi bagi Negara untuk mengeksekusinya. Ketiga,pastikan bahwa eksekutif pemerintah melaksanakan dan menerapkan hukum tersebut.
            Melakukan penetrasi ke tiga pusat kekuasaan itu bukan pekerjaan mudah. Kita akan menemui banyak ranjau saat hendak membentuk wacana publik untuk memenangkan wacana publik. Sebab wacana publik adalah dunia tanpa batasan. Sekarang kita membatasi gerakan komunis di Indonesia,karena konstitusi tidak mengijinkannya hidup. Tapi, kita tidak dapat mencegah untuk tumbuhnya sebagai wacana pemikiran. Demikianlah ketika Clinton “menghabisi” industry rokok di Amerika. Ia membatasi ruang publik dengan membuat mereka tidak nyaman. Tapi Clinton terlebih dahulu telah memenangkan wacana publik sebelum memenangkannya dalam wacana legislasi.
            Jadi misalnya kita ingin menghabisi pornografi dinegara ini, itulah jalannya. Susunlah sturktur gagasan yang kuat untuk meyakinkan publik betapa bahayanya pornografi bagi kehidupan kita. Jika kita menang disini, buatlah suatu rancangan undang-undang untuk membasmi segala bentuk pornografi. Jika kita menang lagi disini, kontrollah pelaksanaannya dari pemerintah,apakah sudah melaksanakan secara baik atau belum. Kalau belum tuntutlah.
Memenangkan Wacana Publik
            Salah satu titik perbedaan dalam masyarakat demokrasi terletak pada keberagaman ide, aliran pemikiran, dan ideology, nilai dan kepercayaan, atau semua yang kita sebut sebagai produk akal manusia.
            Oleh karena sifat mayoritas merupakan salah satu ukuran dalam demokrasi, maka pengaruh sebuah pemikiran ditentukan oleh kemampuannya menjadi arus dari masyarakat. Karena itu wacana publik menjadi salah satu institusi penting dalam demokrasi. Sama pentingnya dengan lembaga legislative dan lembaga eksekutif. Artinya wacana publik harus dimenangkan dulu sebelum kita memenangkan legislasi dan memenuhi eksekutif.
            Haruskah kita punya media jika ingin memenangkan wacana publik ?. inilah perdebatan yang sering terjadi dikalangan para duat ketika diskusi tentang memenangkan wacana publik mengemuka. Yang harus diapahami bahwa tugas memenangkan wacana publik tidak harus disederhanakan dengan memiliki media. Memenangkan wacana public adalah seni tentang bagaimana kita mempengaruhi dan menyusun kerangka pemikiran masyarakat. Atas bagaimana membuat mereka berpikir sama dengan cara yang kita inginkan, bagaimana mereka mempersepsikan sesuatu dengan lensa yang kita kenakan ke mereka.
            Syarat pertama dalam memenangkan wacana publik adalah kekayaan pikiran. Dan hal ini ditentukan oleh dua hal. Pertama, kekayaan dan orisinalitas referensi. Kedua, kemampuan mengeksploitasi referensi dan memformulasikannya untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan zaman. Kita sudah memiliki yang pertama,tapi harus terlatih untuk memiliki yang kedua. Kita mempunyai Al Qur’an dan Sunnah, namun harus berijtihad untuk menemukan mutiara-mutiaranya.
            Syarat kedua adalah struktur pemikiran yang sudah kita formulasikan itu harus kuat dan solid. Kesolidan terbentuk ketika mencakup semua  yang inheren didalamnya, dan pada waktu yang bersamaan mempunyai daya tahan terhadap kritik dari luar. Sebuah pemikiran dengan struktur yang solid akan berpengaruh pada tiga hal.
1.      Pertama, pada tingkat kejelasan pikiran dalam benak kita dan pada keseluruhan susunan kesadaran kita.
2.       Kedua, pada tingkat keyakinan kita terhadap pemikiran tersebut.
3.       Ketiga, pada kemampuan kita membahasakannya atau pada daya ungkap yang tercipta dari kejelasan pikiran tersebut. Semakin jelasnya pemahaman kita terhadap suatu pemikiran,semakin sempurna kemampuan kita membahasakannya.
            Syarat ketiga adalah kemampuan kita meyakinkan public. Kemampuan ini sekarang telah  berkembang menjadi sebuah pengetahuan baru yang dalam hal ini orang-orang tidak lagi mempertanyakan kebenaran dari sebuah pemikiran, tapi berpikir bagaimana kemampuannya sebagai milik public.Syarat ketiga ini bertumpu pada beberapa hal.
1.      Pertama, pada penguasaan teoritis terhadap pikiran yang ingin kita sosialisasikan.
2.      Kedua, pada penguasaan kita akan struktur pemikiran orang lain dan varian-varian yang membentuknya.
3.      Ketiga, pada kejelian kita dalam menentukan entry point yang tepat untuk melakukan penetrasi terhadap pemikiran orang lain.
4.      Keempat, pada kemampuan kita menemukan format bahasa yang tepat dengan struktur kesadaran, bentuk logika, kecenderungan esetetika kebahasaan, dan situasi psikologis, serta momentum yang mengkorelasi pemikiran kita dengan suasana mereka.
Inilah yang kita kenal sebagai psikologi dakwah, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW “Berbicaralah kepada orang lain sesuai dengan tingkat pemikiran mereka”.
            Namun demikian, tetapalah harus ditegaskan bahwa tugas memenangkan wacana public menuntut kita memiliki media. Akan tetapi, memiliki media apa saja tetap tidak cukup untuk menjalankan tugas ini. Yang penting adalah memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan sebelumnya: kuasai kerangka pemikiran Islam, pelajari cara masyarakat publik berpikir, tentukan pintu masuk kedalam akal masyarakat publik, pilihlah format bahasa yang seuai dengan situasi masyarakat publik, dan berbicaralah pada saat yang tepat.
            Menjadi issue maker mungkin lebih strategis ketimbang sekedar memiliki media. Tetapi, memiliki keduanya tentu saja lebih sempurna.
            Demikianlah dakwah harus bekerja  di era demokrasi. Ada kebebasan yang kita nikmati bersama. Tetapi juga ada cara tersendiri untuk mematikan kemungkaran dan penetrasi kekuasaan. Anggaplah ini seni yang harus dimiliki para politisi dakwah
*diambil dari buku Menikmati Demokrasi oleh M Anis Matta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar