Selasa, 12 Juli 2011

Ketika umat islam asing dengan agamanya sendiri


Sesungguhnya islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali pula dalam keadaan asing, maka berbahagialah orang-orang yang dikatakan asing-Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam.

Al islamu mahjubun bil muslim, cahaya islam telah digelapkan oleh orang islam sendiri. Seperti inilah gambaran realita yang terjadi belakangan ini. Banyak orang yang mengaku dan terdaftar beragama islam. Namun tingkah lakunya jauh, bahkan bertolak belakang dengan nilai-nilai islam. Dan yang parahnya endemic ini sudah menyebar hampir diseluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya menjangkau perilaku, namun juga pikiran dan cara bersikap. Justru ketika orang islam bersikap seperti layaknya orang muslim, malah dianggap asing dan tidak wajar. Seorang mahasiswa yang menunggu waktu kuliah dimulai sambil tilawah di dalam kelas justru dianggap aneh. Seorang muslim yang memelihara jenggotnya dicap teroris. Meninggalkan shalat dianggap wajar. Menutup aurat dianggap ketinggalan jaman. Berzakat dan infaq seolah hanya akan mengurangi harta saja. Ustad yang berpoligami justru menuai kontroversi, sedangkan seorang artis yang berbuat asusila justru mendapat simpati dari mereka yang mengaku sebagai penggemarnya. Masyarkat kini sudah terjebak dalam pola pikir yang penyakitan. Sesuatu yang benar dalam islam, justru dianggap salah dalam kacamata masyarakat, hanya karena itu tidak wajar dan tidak legal. Sedangkan sesuatu yang salah dalam islam, justru dianggap benar oleh masyarakat hanya karena itu dianggap wajar dan telah dilegalkan oleh masyarakat. Dan ditambah dengan degradasi moral. Seonggok kemanusiaan itu makin terkapar


.
Penyebab dari ini semua tak lain adalah pengaruh dari musuh islam yang berusaha menjauhkan orang islam dari agamanya. Infiltrasi pemikiran, deras dilakukan melalui berbagai sarana dan media. Media intomasi, pendidikan, politik dan kekuasaan,yang sudah dikuasai musuh islam makim membenamkan umat islam dalam keterpurukan. Arus liberalism yang masuk melalui berbagai media komunikasi yang sekarang sudah menginjak ke ranah informasi terbuka makin memperlancar upaya pemisahan nilai islam dari para pengikutnya. Belum lagi dari segi politik,dimana kini hampir semua negara islam berada di bawah pengaruh kekuasaan politik para musuh islam. Dengan kekuasaanya mereka membatasi penyebaran fikrah islam dalam suatu negeri, alih-alih mereka juga gencar menginfiltrasi pemikiran liberal dan sekuler. “Demokrasi dalam islam, keadilan dalam islam dan kebaikan dalam islam boleh dibahas dalam buku, majalah dan jurnal-jurnal. Tapi memerintah dalam islam, perundang-undangan dalam islam, dan juga kemenangan dalam islam, tak satupun boleh disentuh dan diperbincangkan. Tidak lewat pena, tidak lewat kata, tidak pula lewat fatwa.” Ketakutan Sayyid Quthb ini, kini menjadi kenyataan yang terjadi hampir di semua negeri islam. Kekuatan-keuatan yang mencengkram itu bagaikan garam dalam masakan. Terasa rasanya, namun tidak diketahui bagaimana wujudnya. Tidak lain, tidak bukan, tujuan mereka adalah untuk menghambat tumbuhnya embrio-embrio pergerakan untuk mengembalikan umat islam ke dalam jalan yang sebenarnya.

 
Islam tidak menghendaki penganutnya hidup dalam kondisi kekolotan. Hidup selaras dalam kemajuan perdaban dengan didasari nilai-nilai islam bukanlah suatu kemustahilan. Karena pada dasarnya dalam islam dikenal prinsip Tsawabit(hal yang tetap) dan Muthaghaiyirat(hal yang bisa berubah), sehingga memungkinkan agama ini untuk berkembang dalam kedinamisan, tanpa meninggalkan nilai syariat yang tetap. Islam juga bukan agama yang keras. Dalam islam sendiri pun ditekankan bahwa sesunggunya tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Kini sudah saatnya kita kembali gencar menyuarakan umat islam untuk kembali kedalam nilai-nilai islam yang sebenarnya. Semangat untuk mengembalikan kembali kejayaan islam sebagai rahmmatan  lil’alamin sudah mulai bermunculan. Saatnya kita bergerak bersama untuk menyonsong kejayaan islam yang sudah lama kita benamkan.

Wallahu’alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar