Assalamu’alaykum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Sebaik-baik uang adalah uang
yang beredar di antara orang-orang shaleh- Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam
Uang.
Sepertinya kita jarang sekali menemukan materi tentang uang – berdasarkan pengalaman
pribadi sejauh ini – dalam beberapa wasilah tarbiyah yang kita temui. Baik itu
tarbiyah ruhiyah, jasadiyah, maupun fikriyah. Padahal dalam realita dilapangan,
kita sering sekali menemukan benturan aktivitas dakwah kita terhadap keberadaan
uang. Seorang teman saya ketika ditanya masalah cita-cita, ia menjawab :”Cita-cita
saya adalah menjadi pembayar zakat mal terbesar di Indonesia.” Dengan kata
lain, sebenarnya ia ingin menjadi orang terkaya di Indonesia. Menjadi kaya,
tidak dilarang dalam islam, selama didapatkan dengan cara yang halal. Yang
dilarang adalah bermewah-mewahan. Kaya dan mewah adalah suatu hal yang berbeda.
Kaya adalah kondisi financial, sedangkan mewah adalah mentalitas. Punya mobil
dan rumah adalah kaya. Selama si empunya masih mau bersikap sederhana ketika
bersama dengan umatnya, tidak memamerkannya, tidak menyombongkannya, tidak lupa
membayar zakat dan sedekahnya, tidak lupa dengan tetangga dan fakir miskin. Dan
yang penting ia mendapatkanya dengan cara yang halal dan legal. Sedangkan mewah
adalah kondisi mental dimana sesorang ingin terlihat lebih dari yang lain,
dengan tidak memandang kondisi ekonominya sendiri, maupun kondisi ekonomi orang
yang disekitarnya. Sahabat Rasulullah banyak yang kaya, namun mereka tidak
pernah sombong dengan kekayaanya dan bersikap sederhana. Sebut saja Abdurahman
bin ‘Auf, Abu Bakar as Siddiq. Justru dengan ke kayaan mereka, menghasilkan
banya manfaat untuk perkembangan dakwah pada masa itu. Karena tidak dapat
dipungkiri, untuk berdakwah kita butuh dana, untuk berjihad kita butuh biaya.
Dari tangan mereka-mereka lah, kebutuhan financial dakwah dapat disokong.
Rasulullah mengenal uang sejak usia 12 tahun,
ketika beliau ikut berdagang dengan pamannya. Pada saat beliau menikah Khatijah
pada usia 25 tahun, maharnya adalah 100 ekor unta. Tentunya ini bukanlah jumlah
yang sedikit. Apalagi dalam parameter seorang pemuda yang masih berusia 25
tahun. Walaupun menikah dengan janda yang kaya, tapi Rasulullah berpenampilan
sederhana ketika bersama dengan umatnya dan para sahabatnya. Karena kebanyakan
sahabat nabi adalah fakir miskin, anak yatim, dan janda-janda terlantar. Adalah
hal yang tidak wajar jika beliau menampilkan kemewahan di hadapan mereka. Seandainya
beliau mau, bisa saja beliau menampilkan kekayaannya sebab beliau adalah suami
dari wanita saudagar yang kaya raya, Tetapi beliau menahan diri untuk itu
karena keluhuran akhlaknya lebih terlihat dibanding hawa nafsunya. Maka ketika
sesekali nabi minum susu, menyukai air sejuk, memakai jubah romawi, dan simbol
kemewaan saat itu, hal itu menunjukkan kepada umatnya bahwa itu semua bukan
haram, bukan pula menjatuhkan kewibawaan seorang shalih, tetapi bukan pula
obsesi hidup yang membuat manusia lupa terhadap rumah akhirat .
Punya
rumah dan mobil bukanlah suatu hal yang mewah. Karena rumah adalah indicator
stabilitas, sedangkan kendaraan adalah indicator mobilitas. Selama memang dari
apa yang dimiliki justru dapat menyokong dan membantu dakwah, tentunya ini
bukan sesuatu yang dilarang. Ibnu Abid Duni menjelaskan beberapa alasan mengapa
kita harus kaya. Yang pertama, karena harta itu tulang punggung kedidupan. Yang
kedua, karena uang adalah indicator keshalehan atau keburukan masyarakat. Untuk
yang pertama, saya rasa mayoritas kita sudah sepakat akan hal ini. Karena
hampir semua kebuthan hidup pasti memerlukan uang. Kemiskinan akan mendekatkan
kita dengan kebodohan dan ke kufuran. Hidup kita menjadi tidak normal begitu
kita tidak punya uang. Kita pasti punya banyak masalah ketika kita tidak punya
uang. Saatnya kita merubah mindset hidup kita dari “biar miskin asal bahagia”
menjadi “biar kaya dan bahagia”. Untuk alasan kedua, hal tersebut sesuai dengan hadist Rasulullah
saw yang disebutkan di awal. Apabila uang itu beredar lebih banyak ditangan
orang-orang jahat maka itu indikasi bahwa masyarakat itu rusak. Apabila uang
itu beredar di tangan orang-orang shaleh maka itu indikasi bahwa masyarakat itu
sehat. Bayangkan jika seandainya ada uang 1 Milyar berada ditangan orang
shaleh, tentunya uang itu akan mengalir ke saluran yang baik-baik. Bisa untuk
operasional dakwah, perbaikan dan kemaslahatan umat dan sebagainya. Semuanya di
jalur kebaikan. Bila ada kenikmatan, tidak mungkin dia pergi judi. Tidak
mungkin juga dia pergi ke tempat prostitusi, paling-paling dia cari jalur
halal. Tapi coba sebaliknya, kalau uang itu beredar ditangan orang jahat,
larinya juga pada kejahatan. Kalaupun orang kaya itu muslim, tidak berjudi,
tapi dia tidak punya visi dakwah, dan tidak hidup untuk satu misi besar dalam
hidupnya, dia pasti akan menggunakan uangnya untuk kesenangan pribadi, seperti
perhiasan dan seterusnya. Bahkan bisa jadi digunakan untuk memerangi kebaikan.
Selain
alasan diatas, ada alasan lain, mengapa kita harus kaya. Uang menentukan
derajat status social kita. Jika kita
hidup dalam keluarga, dan kita satu-satunya dai yang ada dalam keluarga itu,
peran dakwah kita belum tentu akan didengar jika hidup kita secara financial masih
bergantung dalam keluarga itu. Dalam sebuah keluarga, peran ayah sangat dominan
dalam sebuah keluarga. Perintahnya dijalankan. Keinginannya dituruti.
Nasihatnya didengarkan. Karena secara status social, posisi ayah berada pada
pucuk paling atas dalam keluarga tersebut. Karena mayoritas kebutuhan keluarga bergantung
dari peran sang ayah dalam mencari nafkah. Oleh karena itu tidak dapat
dipungkiri, kita memerlukan kemadirian finansial, khususnya memerlukan uang,
agar peran kita sebagai seorang du’at menjadi lebih optimal.
Jadi
memiliki kekayaan yang halal adalah halal, walau kekayaan memeiliki potensi
fitnah, tetapi jika dia berada ditangan orang shalih maka akan membawa banyak
kebaikan dan manfaat bagi manusia. Selain itu dakwah butuh kemandirian dan
kekuatan, diantara kekuatan yang krusial adalah kekuatan harta dan dana. Maka
manifesto antara keshalihan dan kekayaan pada seseorang akan membentuk pribadi
yang dermawan. Dan itu lebih utama. Ada ulama mengatakan kaya yang bersyukur lebih
utama dibanding miskin yang bersabar.
Wallahu’alam
Wassalamu’alaykum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar