Minggu, 24 Juli 2011

Berbicara Tentang Uang


Assalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh

Sebaik-baik uang adalah uang yang beredar di antara orang-orang shaleh- Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam

Uang. Sepertinya kita jarang sekali menemukan materi tentang uang – berdasarkan pengalaman pribadi sejauh ini – dalam beberapa wasilah tarbiyah yang kita temui. Baik itu tarbiyah ruhiyah, jasadiyah, maupun fikriyah. Padahal dalam realita dilapangan, kita sering sekali menemukan benturan aktivitas dakwah kita terhadap keberadaan uang. Seorang teman saya ketika ditanya masalah cita-cita, ia menjawab :”Cita-cita saya adalah menjadi pembayar zakat mal terbesar di Indonesia.” Dengan kata lain, sebenarnya ia ingin menjadi orang terkaya di Indonesia. Menjadi kaya, tidak dilarang dalam islam, selama didapatkan dengan cara yang halal. Yang dilarang adalah bermewah-mewahan. Kaya dan mewah adalah suatu hal yang berbeda. Kaya adalah kondisi financial, sedangkan mewah adalah mentalitas. Punya mobil dan rumah adalah kaya. Selama si empunya masih mau bersikap sederhana ketika bersama dengan umatnya, tidak memamerkannya, tidak menyombongkannya, tidak lupa membayar zakat dan sedekahnya, tidak lupa dengan tetangga dan fakir miskin. Dan yang penting ia mendapatkanya dengan cara yang halal dan legal. Sedangkan mewah adalah kondisi mental dimana sesorang ingin terlihat lebih dari yang lain, dengan tidak memandang kondisi ekonominya sendiri, maupun kondisi ekonomi orang yang disekitarnya. Sahabat Rasulullah banyak yang kaya, namun mereka tidak pernah sombong dengan kekayaanya dan bersikap sederhana. Sebut saja Abdurahman bin ‘Auf, Abu Bakar as Siddiq. Justru dengan ke kayaan mereka, menghasilkan banya manfaat untuk perkembangan dakwah pada masa itu. Karena tidak dapat dipungkiri, untuk berdakwah kita butuh dana, untuk berjihad kita butuh biaya. Dari tangan mereka-mereka lah, kebutuhan financial dakwah dapat disokong.

 Rasulullah mengenal uang sejak usia 12 tahun, ketika beliau ikut berdagang dengan pamannya. Pada saat beliau menikah Khatijah pada usia 25 tahun, maharnya adalah 100 ekor unta. Tentunya ini bukanlah jumlah yang sedikit. Apalagi dalam parameter seorang pemuda yang masih berusia 25 tahun. Walaupun menikah dengan janda yang kaya, tapi Rasulullah berpenampilan sederhana ketika bersama dengan umatnya dan para sahabatnya. Karena kebanyakan sahabat nabi adalah fakir miskin, anak yatim, dan janda-janda terlantar. Adalah hal yang tidak wajar jika beliau menampilkan kemewahan di hadapan mereka. Seandainya beliau mau, bisa saja beliau menampilkan kekayaannya sebab beliau adalah suami dari wanita saudagar yang kaya raya, Tetapi beliau menahan diri untuk itu karena keluhuran akhlaknya lebih terlihat dibanding hawa nafsunya. Maka ketika sesekali nabi minum susu, menyukai air sejuk, memakai jubah romawi, dan simbol kemewaan saat itu, hal itu menunjukkan kepada umatnya bahwa itu semua bukan haram, bukan pula menjatuhkan kewibawaan seorang shalih, tetapi bukan pula obsesi hidup yang membuat manusia lupa terhadap rumah akhirat .
Itu semua tidak lain beliau menginginkan dan mengajarkan umatnya keseimbangan. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al Qashash ayat 77 Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Punya rumah dan mobil bukanlah suatu hal yang mewah. Karena rumah adalah indicator stabilitas, sedangkan kendaraan adalah indicator mobilitas. Selama memang dari apa yang dimiliki justru dapat menyokong dan membantu dakwah, tentunya ini bukan sesuatu yang dilarang. Ibnu Abid Duni menjelaskan beberapa alasan mengapa kita harus kaya. Yang pertama, karena harta itu tulang punggung kedidupan. Yang kedua, karena uang adalah indicator keshalehan atau keburukan masyarakat. Untuk yang pertama, saya rasa mayoritas kita sudah sepakat akan hal ini. Karena hampir semua kebuthan hidup pasti memerlukan uang. Kemiskinan akan mendekatkan kita dengan kebodohan dan ke kufuran. Hidup kita menjadi tidak normal begitu kita tidak punya uang. Kita pasti punya banyak masalah ketika kita tidak punya uang. Saatnya kita merubah mindset hidup kita dari “biar miskin asal bahagia” menjadi “biar kaya dan bahagia”. Untuk alasan kedua,  hal tersebut sesuai dengan hadist Rasulullah saw yang disebutkan di awal. Apabila uang itu beredar lebih banyak ditangan orang-orang jahat maka itu indikasi bahwa masyarakat itu rusak. Apabila uang itu beredar di tangan orang-orang shaleh maka itu indikasi bahwa masyarakat itu sehat. Bayangkan jika seandainya ada uang 1 Milyar berada ditangan orang shaleh, tentunya uang itu akan mengalir ke saluran yang baik-baik. Bisa untuk operasional dakwah, perbaikan dan kemaslahatan umat dan sebagainya. Semuanya di jalur kebaikan. Bila ada kenikmatan, tidak mungkin dia pergi judi. Tidak mungkin juga dia pergi ke tempat prostitusi, paling-paling dia cari jalur halal. Tapi coba sebaliknya, kalau uang itu beredar ditangan orang jahat, larinya juga pada kejahatan. Kalaupun orang kaya itu muslim, tidak berjudi, tapi dia tidak punya visi dakwah, dan tidak hidup untuk satu misi besar dalam hidupnya, dia pasti akan menggunakan uangnya untuk kesenangan pribadi, seperti perhiasan dan seterusnya. Bahkan bisa jadi digunakan untuk memerangi kebaikan.

Selain alasan diatas, ada alasan lain, mengapa kita harus kaya. Uang menentukan derajat status social  kita. Jika kita hidup dalam keluarga, dan kita satu-satunya dai yang ada dalam keluarga itu, peran dakwah kita belum tentu akan didengar jika hidup kita secara financial masih bergantung dalam keluarga itu. Dalam sebuah keluarga, peran ayah sangat dominan dalam sebuah keluarga. Perintahnya dijalankan. Keinginannya dituruti. Nasihatnya didengarkan. Karena secara status social, posisi ayah berada pada pucuk paling atas dalam keluarga tersebut.  Karena mayoritas kebutuhan keluarga bergantung dari peran sang ayah dalam mencari nafkah. Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri, kita memerlukan kemadirian finansial, khususnya memerlukan uang, agar peran kita sebagai seorang du’at menjadi lebih optimal.

Jadi memiliki kekayaan yang halal adalah halal, walau kekayaan memeiliki potensi fitnah, tetapi jika dia berada ditangan orang shalih maka akan membawa banyak kebaikan dan manfaat bagi manusia. Selain itu dakwah butuh kemandirian dan kekuatan, diantara kekuatan yang krusial adalah kekuatan harta dan dana. Maka manifesto antara keshalihan dan kekayaan pada seseorang akan membentuk pribadi yang dermawan. Dan itu lebih utama. Ada ulama mengatakan kaya yang bersyukur lebih utama dibanding miskin yang bersabar.

Wallahu’alam
Wassalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar