Kamis, 08 September 2011

Sulitkah menyatukan perbedaan ? (reflesi penetapan 1 syawal 1432 H)

Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh

Ramadhan memang telah berlalu. Namun ramadhan kemarin masih menyisakan satu pekerjaan rumah bagi Departemen Agama Republik Indonesia, yaitu masalah penyatuan kalender hijriah, dalam konteks ini adalah penetuan tanggal 1 syawal. Pekerjaan rumah yang khawatirnya jika didiamkan, maka hal ini akan menjadi "bom waktu" yang siap meledak di ramadhan tahun depan. Masalah ini adalah yang sudah sering kita jumpai beberapa tahun ini - setidaknya setelah jaman orde baru - namun entah kenapa, untuk tahun ini masalah ini menjadi sangat booming di masyarakat. Mulai dari tragedi opor basi, pawai takbiran yang batal dilaksanakan, sampai kasus satu keluarga - dan satu rumah - beda dalam kapan merayakan hari raya iedul fitri. Dibeberapa media saya melihat berbagai macam ekspresi kekecewaan yang dilampiaskan masyarakat, mulai dari saling menghujat - suatu hal yang justru memperburuk masalah - karena beda pemahaman, dan ada juga beberapa kelompok masyarakat yang berunjuk rasa di rumah walikota didaerahnya hanya karena pembatalan acara takbir keliling yang dimundurkan satu hari. Mungkin bisa jadi ini adalah letusan rasa kekecewaan masyarakat yang lama tertumpuk beberapa tahun ini. Namun memang sudah saatnya pemerintah - dalam hal ini Departemen Agama - bertindak untuk mengatasi permasalah ini agar tidak terjadi lagi hal serupa pada tahun depan.

Dalam permasalahan ibadah yang muamalat seperti ini, kita tidak bisa selamanya berdalih 'perbedaan adalah rahmat' - jika yang dijadikan dasar adalah hadist Rasulullah, dapat dikatakan bahwa dalih ini kurang tepat, karena hadist ini dhaif, bahkan Syaikh Al Albani mengatakan "Hadist ini tidak ada asalnya" - . Memang jika bicara masalah metode,  permasalahan dalam menentukan kapan puasa ramadhan berakhir - puasa ramahdan nya,bukan bulan ramadhan nya - adalah suatu ranah yang khilafiyah ijtihadiyah yang bisa menyebakan adanya perbedaan dalam menentukan kapan kita harus berlebaran sebagai peringatan bahwa puasa ramadhan telah berakhir. Saya disini tidak akan berbicara masalah perbandingan metode,karena ini adalah otoritas para fuqaha.namun yang ingin saya tekankan adalah, apakah begitu sulitnya menyatukan perbedaan yang sifatnya ikhtilaf ini demi persatuan umat ?


Dalam ushul fiqh kita mengenal istilah al khruruj minal khilaf mustahabbun - keluar dari masalah yang khilafiyah itu lebih disukai - . Saya ambil contoh beberapa perilaku para ulama generasi salaf dalam menghadapi permasalahan khilafiyah untuk masalah yang lebih fundamental, yaitu masalah shalat. Imam Ahmad kita kenal membid'ah kan qunut subuh. Namun beliau berpesan: "Jika seseorang shalat bermakmum pada imam yang membaca qunut maka hendaknya ia mengikuti dan mengamini doanya". Kemudian masih masalah shalat,syaikh Ibnu Taimiyah pernah berpendapat: “Jika anda bermakmum pada imam yang memiliki perbedaan pendapat dengan anda dalam masalah sah atau tidaknya shalat. Lalu anda berpendapat bahwa shalat yang dilakukannya itu tidak sah, namun ia memiliki hujjah dan dalil bahwa shalat yang ia lakukan sudah sah, maka anda boleh bermakmum kepadanya. Kecuali jika sang imam menegaskan bahwa ia belum berwudhu, misalnya ia berkata: ‘Saya belum berwudhu dan saya akan shalat tanpa wudhu’. Maka shalatnya tidak sah bagi si imam dan tidak sah pula bagi anda”. Begitu juga apa yang dilakukan Ibnu Mas'ud ketika shalat dibelakang Utsman bin Affan (menjadi makmum dari Utsman) di Mina. Pada waktu itu Utsman shalat secara sempurna 4 rakaat. Tidak seperti apa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar bin Khatab, yang meng qasar nya menjadi 2 rakaat. Saat itu peristiwa ini menimbulkan kegaduhan dikalangan jamaah shalat yang lain. Ketika shalat selesai, mereka - jamaah shalat yang lain - bertanya kepada Ibnu Mas'ud. Ibnu Mas'ud tidak mengingkari apa yang dilakukan oleh Utsman. Bahkan beliau berkata "perselisihan itu buruk". Dari contoh-contoh diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa berkompromi dalam permasalahan ikhtilaf demi persatuan umat bukanlah alasan yang mengada-ada, dan ini sudah dilakukan sejak dahulu.

Syaikh Yusuf Qaradhawi pernah berpesan, jika memang tidak memungkinkan dalam mencapai kesepakatan pada tingkat global, maka setidaknya kita wajib berobsesi untuk bersatu dalam satu kawasan. Kata Syekh Qaradhawi, tidak boleh terjadi di satu negara atau satu kota kaum Muslim terpecah-pecah; berbeda pendapat dalam masalah penentuan awal Ramadhan atau Hari Raya. Perbedaan dalam satu negara semacam itu, tidak dapat diterima. Kaum Muslim di negara itu harus mengikuti keputusan pemerintahnya, meskipun berbeda dengan negara lain. Sebab, itu termasuk ketaatan terhadap yang ma’ruf. - Fatwa-fatwa kontemporer jilid II-. Negara kita mempunyai lembaga yang sudah mendapat legitimasi sebagai pembuat keputusan yang harus ditaati. Dalam Fatwa MUI no 2 tahun 2004, pasal kedua yang disebutkan bahwa : Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.

Kemudian muncul permasalahan lagi, dari beberapa kalangan yang berpendapat bahwa pemerintah sekarang bukanlah pemerintah yang sah dan wajib ditaati, karena belum menjalankan syariat islam secara sempurna. Untuk masalah ini saya berpendapat bahwa selama ulil amri tersebut tidak mengajak kepada kemungkaran dan apa yang diputuskan oleh mereka tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka itu wajib ditaati. Saya rasa cukup banyak dalil dalam Al-Quran untuk mentaati ulil amri. Dan satu lagi. Jika ulil amri memerintahkan atau mewajibkan sesuatu, maka wajibnya sesuatu itu bukan karena mereka (posisi mereka sebagai ulil amri). Melainkan apa yang mereka wajibkan itu merupakan hal yang sudah diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ulil amri tidak lebih dari penjaga syariat. Mereka bukan pencipta syariat. Gerakan Ikhwanul Muslimin yang di Mesir, sekalipun selama beberapa puluh tahun mereka selalu ditindas oleh pemerintah, tapi setahu saya mereka tidak pernah mengumumkan kapan 1 Syawal secara sendiri. Mereka selalu mengikuti keputusan Darul Ifta - Lemabaga Fatwa di Mesir - sebagai perwakilan dari pemerintah.

Kemudian kita bicara ke masalah solusi, apakah suatu keniscayaan menyatukan sistem penanggalan dalam satu kawasan ? Ini bukanlah suatu hal yang mustahil. Beberapa ahli fiqih dan astronomi sudah menyatakan bahwa penyatuan sistem kalender ini bisa dilakukan. Seperti ini,ini , dan ini . Atau setidaknya jika memang masih cukup sulit, kita masih bisa satu suara dan satu keputusan - untuk satu kawasan wilayah ini - dalam penetepan tanggal untuk Ramadhan,Syawal dan Dzulhijjah, melaui keputusan pemerintah selaku lemabaga yang mendapat legitimasi untuk menyatukan beberapa pendapat dari beberapa golongan. Dengan demikian masalah perbedaan pendapat atau paham antar ormas/kelompok dapat diselesaikan dengan kita semua mempercayakan kepada pemerintah untuk menetapkan dengan tetap memperhatikan semua masukkan. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah, ke-legowo-an masing-masing pihak dalam berkprompomi untuk maslah perbedaan ini demi kesatuan umat. Dan kemudian mematuhi apapun hasil keputusan itu.

Wallahu'alam bi shawab
Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar