Jujur, sebetulnya pertanyaan ini sering sekali ada di benak saya. Ketika ada kebijakan dari atas, atau hasil keputusan syuro yang tidak bisa saya rasionalisasi, dan ketika itulah pertanyaan ini muncul, sebagai penolakan saya terhadap hasil syuro tersebut. Atau sebagai pembelaan atas ketidak setujuan saya. Saya sebenarnya termasuk orang yang susah untuk merasionalisasikan suatu keputusan. Menurut saya, segala sesuatu itu tidak hanya harus taktis. Tapi segala seuatu tersebut harus tetap memiliki "aturan main". Namun sering kali, rasa ketidakterimaan itu berhasil diredam oleh ustadz saya dengan kata-kata tsiqah dan taat. Tapi disuatu kondisi terkadang kedua kata sakti itu tidak mempan, dan terpaksa saya harus berdiskusi panjang dengan beliau, dan akhirnya - pada mayoritas kasus - saya sampai pada satu kesimpulan bahwa, bukan hasil syuro nya yang salah, tapi salah ada pada saya yang sudah tidak berilmu, suudzan pula.
Tapi masih saja mengganjal dalam benak saya, benarkah hasil keputusan syuro itu selalu benar ? Setelah membacara beberapa tulisan, akhirnya saya berpendapat bahwa, mungkin saja ada kesalahan pada keputusan syuro. Dua hakikat yang harus kita pahami tentang hasil syuro adalah :
Tapi masih saja mengganjal dalam benak saya, benarkah hasil keputusan syuro itu selalu benar ? Setelah membacara beberapa tulisan, akhirnya saya berpendapat bahwa, mungkin saja ada kesalahan pada keputusan syuro. Dua hakikat yang harus kita pahami tentang hasil syuro adalah :