Jumat, 09 September 2011

Membangun tradisi diskusi yang beretika dan berlandaskan ilmu

Assalamu'alaykum Warahamtullahi Wabarakatuh

Masih berkaitan dengan tulisan saya sebelumnya - Polemik penetapan 1 Syawal 1432 H - ,saya ingin menuliskan sesuatu yang berkaitan dengan fenomena yang terjadi seputar polemik tersebut. Setalah Kementrian Departemen Agama melakukan sidang itsbat dan memutuskan kapan 1 Syawal ditetapkan dalam kalender masehi - walaupun pada sidang tersebut ada ormas yang menyatakan berbeda pendapat dan memutuskan untuk tidak mengikuti hasil keputusan sidang itsbat tersebut - , ternyata masalah tidak selesai sampai disitu. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh salah seorang tokoh agama yang hadir disitu, saya lupa namanya , beliau berkata: " Mungkin kita para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat bisa memahami akan terjadinya perbedaan pendapat tersebut, dan memakluminya. Tapi tidak ada jaminan bahwa masyarakat dibawah kita bisa berdamai dan memahami maksud perbedaan ini". Dan apa yang dikatakan beliau benar, setidaknya saya menangkap adanya beberapa gejala percecokan di masyarakat. Contohnya adalah perang opini seperti ini dan ini. Selain itu di jejaring sosial bahkan lebih parah lagi. Debat yang beraroma kebencian dilakukan oleh beberapa pihak yang kenyataannya bukan menyelesaikan masalah, justru memperburuknya. Mereka saling beradu argumentasi tanpa tahu persis duduk permasalahannya, hanya mengandalkan logika dan pemahaman satu bidang yang masih parsial - namun dipaksakan -. Dan diperparah dengan etika berdiskusi yang buruk. Saling mengkritik yang menyakitkan, menjatuhkan kehormatan lawan bicaranya dan menunjukkan bahwa lawan bicaranya salah dan seolah mereka saja yang benar,subyektif.Dan landasan diskusi tersebut bukan berdasar atas rasa cinta terhadap agama islam, melainkan didasarkan atas rasa cinta terhadap golongannnya sendiri.

Diskusi sebenarnya merupakan tradisi ilmu yang patut dibina. Begitu juga dengan memberi nasihat dan memberi kritik. Namun baiknya dalam melakukan semua itu, harus dilakukan dengan cara yang ahsan tanpa bermaksud menyakiti salah satu pihak Dan hindari berdebat yang dapat merusak ukhuwah islamiyah. Karena Rasulullah SAW sendiri pun melarang kita berdebat, sekalipun kita berada dipihak yang benar.

Allah menciptakan manusia dengan potensi, bakat, kemapuan dan kecakapan yang berbeda. sehingga tidak mustahil terkadang manusia berbuat salah. Disinilah pentingnya sebuah diskusi. Saling memberikan nasihat dan kritikan diperlukan dalam hal ini , namun dengan cara yang ahsan. Diskusi harus didasari dengan niat dan tujuan yang mulia, bukan hanya sekedar mencari eksistensi dan ketenaran belaka. Karena itu cara yang dilakukan pun juga harus mulia. Hindari perkataan yang dapat menyakitkan hati manusia dan "menelanjangi" kehormatannya. Adab yang mulia, ucapan yang lembut dan argumentatif  harus dikedepankan saat kita memulai diskusi.



Jika saja kita mau mengedapankan prinsip berdiskusi dengan adab dan ilmu, mungkin rasa perbedaan dalam umat islam tidak akan semakin meruncing ,dan kondisi perpecahan dalam umat Islam akan terdistorsi sedikit demi sedikit dan kita akan menuju ke arah persatuan umat. Namun sayangnya gejala "debat kusir" - yang tidak mengedepankan adab dan ilmu - sudah menyebar di lingkungan masyarakat kita. Debat tanpa disertai dengan ilmu yang utuh dan pemahaman yang benar, serta disampaikan dengan tanpa beretika. Dan tambahan, terkadang yang diperdebatkan adalah suatu hal yang sifatnya furu' , dimana dulu para fuqaha sekalipun yang berbeda pendapat tidak pernah memaksakan pendapatnya dan lebih mengedepankan persatuan umat, daripada rasa kebanggan dan eksistensi atas mahzab yang dianutnya.Perilaku para Imam Mahzab dan fuqaha tersebut sangat berbeda dengan kita sekarang yang berusaha mengikuti mereka, tapi tidak mampu meneladani akhlaqnya. Saling mencela dan menghina yang tidak sepaham dan satu jama'ah hanya karena perbedaan yang furu'. Padahal kita bukanlah ulama, kita hanyalah para thalibul ilmi - penuntut ilmu - yang hanya baru duduk di satu majelis, tanpa mau menimba ilmu dari majelis lainnya. Perkataan kita mungkin akan didengarkan dan dibenarkan, tapi hanya bagi yang satu majelis dengan kita. Kita seakan sudah mampu menjelajah lautan, padahal kita hanya masih berdiri di tepi pantai. Seorang yang masih belajar dari satu sumber, tapi berlaku seolah seorang ulama dan ahli fatwa.

Nasihat karena Allah adalah nasihat yang bebas dari celaan dan keinginan untuk membuka aib manusia. Apalagi bila tujuannya untuk mengurangi pengaruh orang yang dikritik dan karya-karyanya.

Ada peibahasa arab yang berbunyi, jika ingin memanah, siapakan dulu busurnya Artinya sebelum kita ikut dalam berdiskusi hendaknya kita memiliki bekal ilmu yang cukup. Dan juga bekal etika dan niat yang baik, jangan asal kritik. Ketika kita akan memulai suatu diskusi, dan menyampaikan nasihat maupun kritik, hendaknya telitilah kemabali niat kita. Jangan sampai ada perasaan paling benar, dan memandang orang lain - lawan diskusi kita - salah. Imam Syafi'i ketika berdiskusi pun justru berharap mendapat kebenaran dari lawan diskusinya. Dan tambahan, janganlah kita terjun kedalam suatu diskusi yang bukan spesialisasi kita. Agar tidak terjadi perpecahan dan dipermalukan manusia.

Wallahu'alam Bi Shawab
Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar