Assalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh
Kecewa, begitu alasan yang sering
saya dengar ketika seseorang merasa tidak puas akan sesuatu yang ia dapatkan
atau ia jumpai . Ketika sesuatu itu jauh berbeda dengan apa yang dia harapkan,
jauh dari apa yang ia bayangkan di benaknya. Disini yang saya jadikan contoh
adalah perasaan kecewa seorang aktivis dalam suatu kelompok atau organisasi.
Kecewa itu hal yang lumrah, manusiawi. Tidak ada seorang aktivis pun yang tidak
pernah merasa kecewa ketika mereka berkecimpung dalam organisasi yang
dijalaninya. Baik itu kecewa kepada pemimpin organisasi, kecewa pada hasil
keputusan rapat, kecewa pada buruknya manajemen organisasi , kecewa pada sesama
teman dalam organisasi, hingga kecewa pada dirinya sendiri akibat kesal melihat
ketidaksesuaian antara apa yang ada dibenaknya dengan realita yang ada dalam
organisasi. Kecewa itu wajar, dan setiap aktivis pasti pernah mengalaminya.
Tapi setiap aktivis punya cara yang berbeda dalam menampakkan kekecewaan
tersebut. Ada yang ditampakkan, ada yang tidak. Ada aktivis yang mampu
mengatasi kekecewaan tersebut dan meresponnya secara konstruktif. Adapula yang
tidak mampu mengatasi kekecewaan tersebut dan meresponnya secara destruktif.
Akmal Sjafril pernah berkata, bahwa orang yang 'mudah kecewa' dengan organisasi biasanya adalah orang yang jarang berorganisasi, atau setidaknya orang yang tidak akan lama berkarir di suatu organisasi. Karena salah satu hal penting dalam berorganisasi adalah bagaimana mengelola kekecewaan pribadi. Kalau tidak mau kecewa, maka jadilah single fighter yang tidak perlu khawati harus kompromi dengan orang lain. Dalam berinteraksi dengan orang lain, salah satu sikap yang harus kita miliki
adalah kemampuan mengukur diri - atau bisa disebut juga sikap tahu diri - .
Jika kita kecewa dengan pemimpin organisasi kita, maka tanyakanlah pada diri
sendiri, apakah kita mampu lebih baik dari beliau ?. Selain itu kita juga harus bertanya pada diri
kita secara jujur, “ apakah yang akan kita lakukan jika kita berada di posisi
beliau ?”. Kebanyanyakan orang akan menjawabnya secara enteng saja. Mereka yang
menjawab secara enteng tidak berpikir dalam dimensi waktu. Padahal manusia juga ada waktu lelahnya, waktu stressnya, waktu marahnya, waktu sedihnya dan sebagainya. Bisa jadi orang yang kita kritik keputusannya itu mengambil keputusan ketika pikirannya sedang tidak jernih. Bisa jadi saat itu ia sedang kelelahan. Sangat manusiawi jika ada manusia yang khilaf dan menyesali keputusan yang diambilnya.
Lalu apakah kita tidak boleh
kecewa ? Boleh. Sekali lagi kecewa itu hal yang wajar. Tapi sikap seperti apa
yang akan kita munculkan saat kecewa itulah yang menentukan apakah kekecewaan
kita akan memberi dampak yang buruk atau tidak. Meninggalkan barisan yang sudah
berantakan, memang memberi keselamatan pada kita. Tapi tidak dengan barisan
itu. Barisan itu akan semakin berantakan , bahkan bisa jadi kitalah yang
menjadi pinoner penghancur barisan itu. Jika kita tidak bisa iku golongan yang
memperbaiki, maka setidaknya janganlah ikut golongan yang merusak. Jika kita tidak
bisa berdiri di depan menyerukan kebaikan, maka setidaknya berdirilah di tempat
kita dan dukung orang-orang yang menyeru kepada kebaikan, walau dengan
keterbatasan. Itu lebih baik. Lalu ada ungkapan pesimis, dengan posisi kita,
kita tidak bisa merubah barisan yang berantakan tersebut. Pertanyaan saya,
siapakah anda ?. Apakah anda Tuhan yang tahu persis apakah sesuatu tersebut
dapat dirubah atau tidak, sedangkan anda mencobanya saja sendiri belum. Pikiran
itu tidak lebih dari stigma negative yang berusaha dimunculkan sebagi pembelaan
atas ke-pragmatis-an kita.
Lalu bagaimana mengatasi rasa
kecewa dalam organisasi ? Ada beberapa saran dari Eko Novianto – seorang penulis
buku “Sudahkah Kita Tarbiyah” – tentang bagaimana mereduksi rasa kecewa dalam
organisasi. Jadilah pribadi yang Optimis, Ceria dan Rileks.Orang yang ceria
adalah orang yang bisa menikmati hidup, tidak suka mengeluh dan selalu berusaha
meraih kegembiraan. Mereka yang rileks berpeluang besar memiliki ruang maaf
yang luas. Kebesaran jiwa dapat dilihat dari kemampuan seseorang memaafkan
orang lain. Orang yang berjiwa besar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh
rasa benci dan permusuhan. Ketika menghadapi masa-masa sukar dia tetap tegar,
tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan dan keputus-asaan. Mereka yang
ceria dan rileks tidak suka membesar-besarkan masalah kecil. Mereka yang ceria
dan rileks tidak suka mengungkit masa lalu dan tidak terlalu khawatir dengan
masa depan. Mereka yang ceria dan rileks tidak mau pusing dan stress dengan
masalah-masalah yang berada di luar kontrolnya. Mereka ini jarang merasa
terkejut oleh problem. Mereka yang optimis, ceria dan rileks adalah mereka yang
mencari pemecahan masalah. Mereka yang optimis, ceria dan rileks memiliki cukup
keyakinan terhadap sebagian peran meraka di masa depannya. Mereka yang optimis,
ceria dan rileks yang merasa memiliki kemungkinan untuk melakukan perubahan
secara teratur dan bertahap. Mereka yang optimis, ceria dan rileks memiliki
kemampuan untuk menghentikan alur berpikir yang negatif. Mereka yang optimis,
ceria dan rileks melatih daya imajinasi untuk meraih keberhasilan. Bahkan
mereka yang optimis, ceria dan rileks selalu merasa gembira bahkan ketika
mereka tidak berbahagia. Itu karena mereka banyak membina rasa cinta dalam
banyak sisi kehidupan mereka, mereka suka bertukar berita baik, dan mereka
menerima dengan baik apa saja yang tidak bisa diubah. Optimis, ceria dan rileks
akan menghasilkan rasa percaya diri. Rasa percaya diri memungkinkan seseorang
menerima dirinya sebagaimana adanya, menghargai dirinya dan menghargai orang
lain. Orang yang percaya diri mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
situasi yang baru. Orang semacam ini tahu apa yang harus dilakukannya dan dan
tahu bagaimana melakukannya dengan baik. Orang orang semacam ini akan
bertanggung jawab dan akan melaksanakan kewajibannya dengan sungguh-sungguh.
Kalau melakukan kesalahan, dia berani mengakuinya. Dan ketika mengalami
kegagalan, orang semacam ini tidak akan mencari kambing hitam. Dan bahkan kalau
orang semacam ini merasa kecewa dan sakit hati, mereka tidak akan menyalahkan
siapapun. mereka menyadari bahwa dirinya sendirilah yang bertanggung jawab atas
apapun yang dialami dan dirasakannya.
Para aktivis bukanlah orang yang
mudah berkhianat. Mungkin kata berkhianat terlalu kasar, tapi memang permasalahan
organisasi tidak selalu sama dengan bisnis. Komitmen organisasi bukan soal mana
yang lebih ekonomis, mana yang lebih bisa didengar keluh kesah dan kemauan dan
juga bukan soal mana yang lebih bisa membuat kita eksis. Seorang aktivis harus
menunjukkan sikap kesetiaan dan tidak mudah beranjak dari barisa. Tapi tetap
harus didasari rasa kefahaman, optimis, ceria dan rileks.
Wallahu'alam bi shawab
Wassalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar