“As a country that sends workers abroad, Indonesia also made a strong international appeal to employers to keep all their workers, in spite of the difficult times. And we closely coordinated with host countries, to ensure the continued employment of our migrant workers. I extend our gratitude to host Governments , who have tried their best to be helpful to migrant workers in their countries”. –Susilo Bambang Yudhoyono.
Ironi,mungkin begitulah kata yang tepat untuk menggambarkan realita yang terjadi di lapangan. Betapa tidak,petikan pidato tersebut disampikan SBY dalam Sidang International Labour Organization 14 Juni lalu,empat hari sebelum seorang TKW asal Indonesia, Ruyati binti Satubi, dijatuhi hukuman pancung di Saudi Arabia atas tuduhan perlakuan pembunuhan terhadap majikannya.
Banyak kecaman datang dari masyarakat setelah berita pemacungan ini merebak. Baik kecaman terhadap berlakunya hukum qisas di Saudi yang terkesan diskriminatif, hingga kecaman terhadap SBY dan para pembantunya (menteri) yang terkesan sangat lambat dan kurang professional dalam pekerjaanya. Apalagi jika kita kembali merujuk pada isi pidato tersebut, nampak sekali terdapat kontradiksi antara apa yang disampaikan SBY dan yang terjadi di lapangan. Masyarakt mempertanyakan tindakan pemerintah yang cenderung lambat dan tidak cepat tanggap terhadap kasus Ruyati. Kasus Ruyati sudah bergulir sejak awal Mei 2010 lalu. Dan seolah kecolongan,setelah vonis tersebut jatuh, pemerintah cenderung kurang dalam melakukan upaya diplomasi dalam melindungi TKI yang sedang bermasalah hukum tersebut, hingga akhirnya Ruyati dijatuhi hukuman pancung pada 18 Juni lalu. Padahal dalam hukum qisas, sang pembunuh bisa saja dimaafkan oleh keluarga korban,dan membayar diat sesuai dengan yang disepakati. Seharusnya dengan upaya diplomasi yang bagus pemerintah bisa melobi,baik pihak keluarga korban ataupun badan kehakiman di Saudi, sehingga Ruyati bisa terhindar dari hukuman tersebut. Entah apa memang tidak ada komunikasi yang bagus antar kedua Negara ini, atau memang ada indikasi pemerintah cenderung acuh.
Permasalahan hukuman mati Ruyati merupakan tragedi kemanusiaan. Tapi bukan tragedi pada hukum Islamnya,melainkan tragedi pada sikap pemerintah Indonesia yang tidak memberikan perlindungan bagi Tenaga Kerja Indonesia. Dan dalam kasus ini,status Ruyati adalah TKI yang Legal. Perlindugan bagi TKI seharusnya memang diberikan secara layak. Namun yang harus diagris bawahi disini adalah perlindunga terhadap hak nya. Bukan perlindungan terhadap pidana nya. Jangan seolah karena kasta mereka lebih rendah,lalu mereka mendapat perlakuan kelas bawah. TKI di luar negeri yang mengalami masalah,baik masalah hukum maupun keamanan sudah selayaknya mendapat perlindungan dari pemerintah Indonesia. Disamping karena itu sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap warga negaranya, yang harus dicatat juga, TKI merupakan penyumbang devisa terbesar kedua bagi Indonesia setelah migas. Tidak kurang US$ 6 miliar masuk ke devisa Negara dari pengiriman remitansi oleh TKI pada tahun 2009. Berdasarkan data juga, jumlah TKI yang kini bekerja di luar negeri mencapai 3,246 juta orang yang tersebar di banyak Negara. Dan dari jumlah tersebut, jumlah TKI yang bermasalah hingga tahun 2009 mencapai 69.004 orang. Padahal meereka bekerja di luar negeri karena memang kurang tersedianya lapangan pekerjaan yang disediakan pemerintah di negerinya sendiri. Dan kini,setelah meraka divonis “tidak bisa hidup di negeri sendiri”,banyak dari mereka harus mendapat vonis “mati” di negeri orang.
Tragedi eksekusi mati Ruyati setidakanya akan menjadi tolak ukur dari kesungguhan SBY dalam melayani rakyat. Dengan kejadian ini,semua orang akan mempertanyakan janji-jani SBY,baik pada saat kampanye maupun pada saat pidato di berbagai forum. Karena sudah menjadi kebiasaan,untuk kasus-kasus seperti ini, maka anak buahnya di pemerintahanlah yang akan disalahkan. Dan upaya pertanggung jawaban pemerintah (SBY dan menterinya) seharusnya tidak otomatis berhenti dengan pemberian uang dukacita kepada keluarga Ruyati. Harus ada pertanggung jawaban yang lebih besar dari itu. Kami tidak menuntut anda mundur dari jabatan anda,sebagai bentuk pertanggung jawaban. Yang lebih utama yang menjadi tuntutan kami adalah adanya perbaikan dalam uapaya pelayanan dan pengabdian terhadap Negara ini. Kalaupun pada akhirnya anda mundur dari jabatan-jabatan anda, maka kami hargai itu sebagai bentuk pertanggung jawaban yang paling baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar